Oleh: Redaksi
Kami tidak butuh panggung.
Kami tak sedang mengemis penghargaan.
Kami hanya ingin bicara sebagai bagian dari amanah konstitusi:
Bahwa wartawan adalah pengawal fakta, bukan pembawa fitnah.
Namun yang kami saksikan hari ini begitu menyayat nalar:
Pejabat publik yang seharusnya menjadi mitra transparansi, justru lebih percaya kepada laporan anak buah yang kadang terpolitur rapi, dibanding pada kami—wartawan—yang hadir dengan bukti, suara rakyat, dan rekaman realita di lapangan.
Lalu, kami bertanya dengan satu kalimat yang mengguncang:
Jika wartawan tidak lagi dipercaya, siapa yang akan mengingatkan Anda saat kekuasaan Anda mulai melenceng?
🏛️ Dasar Konstitusi Tak Bisa Diabaikan
Negara ini berdiri atas prinsip hukum.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 tegas menyatakan:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Dan dalam hukum itu, dijamin hak setiap warga negara—termasuk wartawan—untuk menyampaikan informasi.
Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi… serta berhak untuk menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia.”
Lalu ditegaskan kembali dalam Pasal 3 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
“Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”
Artinya, kehadiran wartawan bukanlah pilihan yang bisa diabaikan seenaknya, tetapi mandat dari undang-undang dan amanah dari rakyat.
🔥 Kontrol Itu Bukan Gangguan, Tapi Pengingat
Kritik yang membangun bukan ancaman.
Pertanyaan tajam bukan bentuk permusuhan.
Dan suara wartawan bukan pengganggu kerja Anda, tapi justru penjaga agar Anda tidak kehilangan arah di tengah derasnya kepentingan.
Kami datang dengan niat mulia—menyampaikan apa yang tidak Anda lihat, dan menyuarakan jeritan yang tidak Anda dengar dari ruang kerja Anda.
Namun, ketika kami dianggap ancaman, dicurigai, bahkan dikesampingkan…
Maka sebenarnya yang sedang Anda abaikan bukan kami, tetapi cermin kebenaran yang sedang memperlihatkan retak di dinding kekuasaan Anda.
Pejabat yang takut pada wartawan, pada dasarnya sedang takut pada suara rakyat itu sendiri.
Sebab wartawan hanyalah penghubung. Tapi suara yang kami bawa adalah milik masyarakat.
⚖️ Ingatlah, Wahai Pejabat…
Wartawan memang bukan penegak hukum.
Tapi sejarah mencatat: banyak kekuasaan tumbang bukan karena senjata, melainkan karena suara kebenaran yang tak bisa dibungkam.
Jika ruang untuk pers semakin disempitkan, maka ruang kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan hancur perlahan.
✍️ Penutup:
Kami bukan malaikat. Tapi kami pun bukan budak kekuasaan.
Kami wartawan, bekerja di tengah hujan tudingan, badai tekanan, dan angin politisasi. Tapi selama kami berdiri di atas kode etik dan konstitusi, maka suara kami sah—dan harus didengar.
Kami tak perlu disanjung.
Cukup beri kami ruang untuk menyampaikan apa yang rakyat ingin Anda dengar—sebelum mereka kehilangan harapan.