Batang Hari, Sigap91news.com —
Dua warga Kecamatan Mersam, Kabupaten Batang Hari, menjadi korban penganiayaan yang mengguncang nurani publik. Peristiwa memilukan ini terjadi pada Selasa (14/10/2025), ketika dua pria berinisial ND dan HD hanya berniat mencari rezeki dengan mengutip berondolan kelapa sawit di area perkebunan PT Delimuda Perkasa (DMP), perusahaan sawit yang diketahui berstatus sitaan Kejaksaan Agung RI.
Namun, niat sederhana untuk menyambung hidup berubah menjadi tragedi berdarah ketika mereka dikeroyok secara brutal oleh sejumlah karyawan dan satpam perusahaan tersebut.
Keduanya diserang tanpa ampun. ND dicekik dari belakang, dipukuli bertubi-tubi, dan dihantam menggunakan kayu hingga kepalanya robek serta harus dijahit.
Sementara HD mengalami luka parah di bagian mata hingga nyaris buta akibat pukulan benda tumpul. Dalam kondisi babak belur dan tak berdaya, mereka bahkan masih menerima tekanan psikologis berupa ancaman dan pemerasan.
Keluarga korban mendapat telepon dari salah satu oknum karyawan yang meminta uang tebusan sebesar dua juta rupiah agar motor milik korban dikembalikan.
“Kami tidak mencuri, hanya mengambil berondolan yang jatuh. Tapi kami disiksa seperti binatang. Saya luka-luka di kepala, teman saya matanya hampir pecah,” ungkap ND dengan nada gemetar saat ditemui wartawan.
Ia menuturkan, sedikitnya sepuluh orang pelaku terlibat dalam pengeroyokan itu, di antaranya berinisial DS, AZ, DD, dan AD. Mereka bertindak seolah hukum tak berlaku di atas tanah perusahaan sitaan negara.
Tak berhenti di situ, sepeda motor korban yang digunakan untuk bekerja kini ditahan di Mapolsek Maro Sebo Ulu sebagai barang bukti dalam laporan terpisah yang justru menuduh mereka mencuri berondolan sawit.
Padahal, menurut pengakuan korban, berondolan yang dikumpulkan tidak lebih dari 50 kilogram, dan tuduhan mencuri enam tandan sawit sama sekali tidak sesuai fakta di lapangan.
ND dan HD pun melaporkan kejadian penganiayaan tersebut ke Polsek Maro Sebo Ulu, berharap hukum berpihak pada kebenaran. Namun hingga kini, laporan itu belum menunjukkan perkembangan berarti.
Dalam perspektif hukum, tindakan yang dilakukan para pelaku tergolong penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman hingga delapan tahun penjara.
Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), setiap laporan masyarakat harus segera ditindaklanjuti melalui tahapan resmi: penerimaan laporan, pembuatan tanda bukti laporan polisi (LP), pemeriksaan visum et repertum, pengumpulan alat bukti, pemeriksaan saksi, penetapan tersangka, hingga pelimpahan berkas ke kejaksaan untuk proses penuntutan di pengadilan.
Prosedur ini wajib dijalankan demi menjunjung tinggi keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Negara tidak boleh berpihak kepada yang kuat, dan kepolisian sebagai alat negara wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Jika aparat membiarkan kekerasan yang dilakukan oleh korporasi besar terhadap rakyat kecil, maka itu sama saja dengan menistakan hukum negara sendiri.
Aktivis hukum di Batang Hari menilai bahwa kasus ini harus menjadi perhatian serius bagi penegak hukum. Tindakan main hakim sendiri di dalam area perusahaan sitaan negara adalah bentuk arogansi kekuasaan yang mencoreng nama lembaga penegak hukum dan merusak kepercayaan masyarakat.
“Kepolisian tidak boleh ragu. Ini bukan perkara kecil, ini soal nyawa dan martabat rakyat. Proses harus tegas, pelaku wajib ditangkap, dan perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan karyawannya,” tegas salah satu pemerhati hukum lokal.
Sementara itu, pihak Polsek Maro Sebo Ulu dikabarkan telah memanggil kedua belah pihak untuk mencari solusi, namun korban menolak damai dan bersikeras agar kasus tetap diproses sesuai hukum yang berlaku.
“Kami tidak akan mencabut laporan. Kami ingin keadilan ditegakkan. Kalau hukum berpihak kepada yang kuat, lalu kami rakyat kecil harus berlindung ke mana?” ujar ND menutup keterangannya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak PT Delimuda Perkasa maupun tanggapan terbuka dari aparat penegak hukum. Namun satu hal pasti, luka di tubuh kedua korban menjadi simbol betapa hukum masih harus diperjuangkan agar tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Keadilan bukan milik orang berkuasa, melainkan hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Dalam negara hukum, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk kebal dari pertanggungjawaban.(Red)**