HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Dosen Pengampu : Dr. Arfa’I, S.H., M.H Disusun Oleh : Intan Nurjannah NIM : P2B124071
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI 2025
“Norma Hukum Vs Praktik Diskriminatif: Kajian HAM Atas Rencana Kebijakan Vasektomi Sebagai Syarat Penerima BANSOS” Intan Nurjannah, S.H
Beberapa waktu terakhir, wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos) mengemuka di ruang publik Indonesia. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan sebuah kebijakan kontroversial yang mengaitkan pemberian bantuan sosial dengan persyaratan bagi pria dari keluarga kurang mampu untuk menjalani prosedur medis vasektomi. Kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan jumlah penduduk dan mengurangi kemiskinan. Meskipun niat di balik kebijakan ini terkait dengan upaya pengendalian penduduk dan kesejahteraan sosial, kebijakan ini memunculkan perdebatan luas tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terkait dengan kebebasan tubuh dan hak atas privasi. Sehingga mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil hingga lembaga negara seperti Komnas HAM. Banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan hak asasi manusia (HAM), tetapi juga berpotensi merendahkan martabat dan integritas pribadi warga negara. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis wacana kebijakan tersebut dari berbagai perspektif hukum, dengan mengkaji rencana kebijakan tersebut dalam kerangka norma hukum nasional, dan kesesuaian dengan prinsip HAM. Mengingat tanggung jawab negara dalam konteks HAM mencakup kewajiban untuk melindungi hak-hak individu, menjamin kebebasan pribadi, dan menghormati martabat setiap warganya. Kebijakan yang mengaitkan bantuan sosial dengan prosedur medis yang permanen seperti vasektomi dapat dikaji sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Permasalahan utama yang perlu dianalisis adalah: Apakah kebijakan yang mengaitkan syarat pemberian bantuan sosial dengan tindakan medis berupa vasektomi dapat dibenarkan secara hukum? Apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional, serta apakah ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia dan instrumen hukum internasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengurai dasar hukum yang ada dan menganalisisnya dalam konteks kebijakan yang diusulkan. Kebijakan yang mengaitkan bantuan sosial dengan tindakan medis dapat dipertimbangkan dengan merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Diantaranya : Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda” Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin” Pasal 28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati Nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Pasal-pasal ini memberikan dasar konstitusional yang jelas mengenai perlindungan terhadap integritas tubuh seseorang dan hak untuk tidak dipaksa menjalani tindakan medis. Dalam konteks ini, kebijakan yang memaksa individu untuk menjalani vasektomi sebagai syarat memperoleh bantuan sosial jelas bertentangan dengan hak atas integritas tubuh yang dijamin oleh UUD 1945. kebijakan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan terhadap tubuh, yang berpotensi melanggar hak atas integritas fisik dan kebebasan memilih dalam konteks kesehatan reproduksi. Vasektomi adalah tindakan medis yang berdampak permanen pada kemampuan reproduksi seseorang, dan oleh karena itu tidak dapat dipersyaratkan melalui tekanan ekonomi. Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4: Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pasal 71: Pemerintah wajib menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia. Kebijakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pemaksaan tindakan medis pada individu tertentu, yang tidak dilakukan atas dasar kesukarelaan atau informed consent, dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar ini. Bertentangan Dengan Instrumen Internasional Sebagai negara yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan standar internasional. ICCPR menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pribadi dan tidak boleh dipaksa menjalani prosedur medis tanpa persetujuan bebas. Artinya negara wajib memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan pribadi dan integritas tubuh. Dalam konteks ini, kebijakan yang mengaitkan hak sosial dengan tindakan medis yang bersifat permanen bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam mengimplementasikan standar internasional tersebut. Pelanggaran terhadap Hak Sosial Ekonomi Bantuan sosial adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 dan dilindungi oleh berbagai instrumen internasional, seperti International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Negara tidak boleh mendiskriminasi atau menunda pemberian bantuan sosial berdasarkan syarat yang tidak rasional atau melanggar prinsip keadilan. Kebijakan ini juga mengarah pada diskriminasi berbasis jenis kelamin, karena syarat tersebut hanya ditujukan kepada pria, tanpa memperhitungkan adanya alternatif untuk perempuan atau kebutuhan lain yang lebih mendesak. Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial yang tidak dapat diterima dalam sebuah negara demokratis yang berpegang pada prinsip kesetaraan. Berdasarkan analisis yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa. Rencana menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial tidak hanya bermasalah secara etis, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia maupun oleh instrumen internasional yang berlaku. Kebijakan tersebut melanggar prinsip dasar HAM, yaitu kebebasan menentukan nasib tubuh sendiri, hak atas jaminan sosial tanpa diskriminasi, dan keadilan sosial. Negara sebagai pemangku tanggung jawab utama dalam pemenuhan HAM harus memastikan bahwa setiap kebijakan lahir dari niat melayani, bukan mengendalikan atau mengorbankan warga. Kebijakan publik yang baik harus mengedepankan asas kehati-hatian, partisipasi, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Maka sudah sepatutnya rencana ini ditinjau ulang secara menyeluruh sebelum menjadi preseden berbahaya dalam tata kelola sosial di Indonesia dan disesuaikan dengan kebijakan yang lebih berbasis pada kesukarelaan dan keadilan sosial. Adapun beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari pro-kontra yang semakin memanas, berikut langkah – langkah yang dapat dipertimbangkan : Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu segera menghentikan segala bentuk wacana kebijakan yang berpotensi melanggar HAM dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih edukatif dan berbasis kesukarelaan dalam program KB. Pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial dan BKKBN harus memberikan panduan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan bantuan sosial agar tidak digunakan sebagai alat untuk memaksakan kebijakan medis. Lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Ombudsman harus melakukan pengawasan aktif terhadap kebijakan yang berhubungan dengan bantuan sosial dan keluarga berencana untuk memastikan kebijakan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip HAM dan konstitusional.