Batang Hari, Sigap91News.com – Mandat kepengurusan Kabupaten Batang Hari untuk pembentukan Dewan Pengurus Debalang Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah resmi diberikan kepada Darwin Irianto. Penetapan ini menjadi langkah awal dalam upaya memperkuat peran Debalang sebagai penjaga adat istiadat di tengah masyarakat.
Dalam sejarahnya, Debalang dikenal sebagai sosok pemberani yang “sanggup menunggu di pintu mati”, yakni mereka yang bertugas menjaga hukum, adat, dan tatanan kehidupan. Debalang merupakan satu kesatuan, sementara Hulu Balang adalah ketua atau komando di suatu wilayah atau batin hingga pengawal raja.
Nek Azhar selaku panglima tuo putra asli Batin Limo yang kini berdomisili di Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, dipercaya untuk memegang peran penting di bidang kepemudaan dan ditugaskan sebagai Panglimo Utamo Debalang.
“Debalang adalah bagian dari unit kerja LAM (Lembaga Adat Melayu) yang tidak bisa dipisahkan, bagaikan mata rantai yang terikat kukuh. Debalang Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah sudah terdaftar di Kemenkumham, artinya Debalang dapat disebut badan fungsional dalam struktur LAM itu sendiri, yang berhak menjaga adat serta memiliki hak otonom untuk keberlangsungan rumah tangga organisasi,” ungkap Darwin.
Ia juga mengajak seluruh keluarga besar Batang Hari serta masyarakat semendo untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan adat di Bumi Serentak Bak Regam.
“Kalu bukan kini kapan lagi, dan kalu bukan kito siapo lagi. Mari samo-samo menjago dan melindungi adat yang sebenar adat,” tegasnya.
Darwin Irianto menegaskan bahwa tahap berikutnya adalah pembentukan kepengurusan resmi Debalang Negeri Kabupaten Batang Hari. Agenda ini akan segera dijadwalkan dalam waktu dekat agar struktur organisasi dapat terbentuk dan memiliki legitimasi hukum yang kuat di pemerintahan daerah.
Di sisi lain, perhatian terhadap keberlangsungan adat juga disampaikan oleh Sekretaris Umum Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi, Muhammad Syukur. Ia menyoroti semakin terkikisnya marwah adat akibat praktik-praktik yang menyimpang di beberapa desa.
Selain itu, sejumlah kasus lain juga menyinggung perilaku oknum kepala desa yang melakukan tindakan asusila namun tidak diproses melalui jalur adat sebagaimana mestinya.
Padahal, adat di Kabupaten Batang Hari berlandaskan falsafah “adat bersendi syara’, syara’ bersendikan Kitabullah.”
Ketua Adat Kabupaten Batang Hari, Ning Fatahudin, dalam sebuah wawancara, mengakui bahwa persoalan muncul karena posisi ketua adat di desa sering ditentukan langsung oleh kepala desa. Kondisi ini membuat fungsi adat menjadi tidak independen.
“Seharusnya seorang Ketua Adat berdiri sendiri, tidak dipilih oleh kepala desa. Mekanismenya harus melalui lembaga adat tingkat kabupaten maupun kecamatan yang berwenang, agar adat tidak tercampuri kepentingan politik maupun kekuasaan,” ungkap salah satu pemerhati desa yang enggan disebutkan namanya.
Ia menegaskan, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka adat di Batang Hari berpotensi kehilangan marwahnya. “Bahkan bisa menjadi bumerang yang justru merusak adat itu sendiri,” tambahnya.
Dengan terbentuknya kepengurusan Debalang Negeri di Kabupaten Batang Hari nantinya, diharapkan lembaga ini dapat menjadi penguat marwah adat, menjaga kearifan lokal, dan memastikan nilai-nilai adat tetap berjalan lurus sebagaimana mestinya.(red)**





