Sigap91news.com, Batang Hari – Seorang perangkat desa di Desa Sungai Baung, Kecamatan Muara Bulian, berinisial DD, terseret dugaan serius. Selain lebih dari 60 hari tidak masuk kerja dan menerima tiga kali surat peringatan (SP), DD kini diduga kuat memalsukan tanda tangan kepala desa. Kasus ini tengah bergulir di tingkat kecamatan dan Inspektorat.
Camat Muara Bulian, Zuhri, menegaskan bahwa DD telah menerima tiga kali SP dan lebih dari dua bulan mangkir dari tugasnya di kantor desa. Namun, pihak kecamatan masih mengkaji lebih lanjut sebelum mengambil keputusan final.
“Kami sudah menerima laporan dan masih mempelajari surat pengajuan pemberhentiannya yang baru masuk pertengahan Januari 2025,” ujar Zuhri, Senin (3/2/2025).
Tidak hanya soal absensi, DD juga diduga terlibat dalam praktik manipulatif yang merugikan administrasi desa. Inspektorat telah dikerahkan untuk melakukan investigasi lebih dalam.
“Kami menunggu hasil kajian Inspektorat sebelum menentukan langkah selanjutnya,” tambahnya.
Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan Kades
Di tengah sorotan terkait ketidakhadirannya, DD kini dihadapkan pada tuduhan yang lebih berat: pemalsuan tanda tangan kepala desa untuk kepentingan administratif desa. Sejumlah warga mengaku tak lagi melihat DD aktif di kantor desa dalam beberapa bulan terakhir.
“Hampir setiap hari saya tidak melihat DD di kantor desa. Bisa jadi dia memang tidak bekerja lagi di sana,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan, Rabu (15/01).
DD membantah semua tuduhan tersebut. “Sampai bulan Desember 2024, saya masih menandatangani dokumen desa. Jika ada yang menyebut saya tidak aktif, itu hanya isu yang disebarkan oleh pihak tertentu,” katanya saat dikonfirmasi di kediamannya, Kamis (16/01).
Namun, saat ditanya terkait dugaan pemalsuan tanda tangan kepala desa, jawaban DD justru mengundang tanda tanya. “Terkait tanda tangan itu, kondisinya mendesak saat itu. Saya rasa Anda paham maksud saya,” ujarnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Kepala Desa Sungai Baung, RW, mengonfirmasi bahwa secara administratif DD masih tercatat sebagai perangkat desa, tetapi tidak menjalankan tugasnya.
“Dia seharusnya hadir setiap hari dan menjalankan tugas sebagai verifikator kegiatan. Kami sudah mengeluarkan SP 1 hingga SP 3 terakhir pada Desember 2024 dan melaporkan permasalahan ini ke atasan. Namun, hingga kini belum ada keputusan resmi,” kata RW.
Jerat Hukum Mengancam
Kasus pemalsuan tanda tangan ini bukan perkara sepele. Pakar hukum Ahmad Iqbal, S.H., M.H., menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP dengan ancaman enam tahun penjara.
“Jika terbukti melakukan pemalsuan dokumen resmi seperti akta otentik dan surat administratif, sanksinya bisa lebih berat, mencapai delapan tahun penjara sesuai Pasal 264 KUHP,” jelas Iqbal.
Lebih dari itu, dalam konteks digital atau dokumen elektronik, pemalsuan tanda tangan dapat dijerat Pasal 51 ayat (1) UU ITE dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.
Hingga kini, investigasi masih berlangsung. Jika terbukti bersalah, DD tidak hanya menghadapi sanksi administratif berupa pemberhentian, tetapi juga konsekuensi hukum yang lebih berat.
Pihak desa menegaskan bahwa disiplin dan integritas perangkat desa harus dijaga.
“Kami ingin memastikan bahwa tata kelola pemerintahan desa berjalan transparan dan profesional. Tidak boleh ada penyimpangan seperti ini,” tegas Kepala Desa RW.
(Bambang Siswanto)







