SIGAP91NEWS.COM, 14 Desember 2024 – Kasus pungutan liar di Jalan Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi, kembali menarik perhatian publik setelah terungkap bahwa jalan yang selama ini dipergunakan oleh kendaraan angkutan batu bara dan sawit ternyata merupakan lahan pribadi. Hal ini membuka pertanyaan besar mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan jalan dan praktik pungli yang sudah berlangsung lama.
Pihak yang Bertanggung Jawab:
1. Pemilik Lahan Pribadi: Jika jalan tersebut benar-benar milik pribadi, maka pemilik lahan tersebut adalah pihak yang pertama bertanggung jawab dalam mengelola jalan tersebut. Pemilik wajib memastikan bahwa jalan tersebut dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan pungutan yang dikenakan kepada pengguna jalan tidak melanggar hukum. Pemilik juga harus memastikan bahwa jalan digunakan sesuai dengan peraturan yang ada, terutama jika digunakan untuk kegiatan angkutan umum atau angkutan berat. Hal ini harus diatur dengan izin resmi yang sesuai dengan Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa jalan yang digunakan untuk kepentingan umum harus mendapat izin dari pemerintah.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Batang Hari: Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pekerjaan Umum atau dinas terkait, berperan penting dalam pengawasan jalan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pemda harus memastikan apakah jalan tersebut memiliki izin yang sah dan apakah pengelolaan jalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika jalan digunakan oleh kendaraan berat, pemerintah daerah juga harus menilai dampak lingkungan yang ditimbulkan dan memantau keberlanjutan penggunaan jalan.
3. Pemerintah Provinsi Jambi: Jika ada klaim bahwa jalan tersebut memiliki izin dari pemerintah provinsi, maka pemerintah provinsi harus memastikan bahwa izin yang diberikan sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pemerintah provinsi juga harus memantau pengelolaan jalan tersebut agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, terutama jika jalan itu digunakan untuk kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.
4. Aparat Penegak Hukum (Polisi dan Kejaksaan): Pungutan liar yang terjadi di jalan ini, dengan tarif Rp50.000 per truk dan pendapatan hingga Rp25 juta per malam, menimbulkan kecurigaan adanya penyalahgunaan kewenangan dan potensi tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, perlu segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam praktik pungli ini. Jika terbukti melanggar hukum, tindakan tegas harus diambil sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5. Badan Lingkungan Hidup dan Pemerhati Sosial: Mengingat dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas kendaraan berat yang melintas di jalan ini, Badan Lingkungan Hidup (BLH) setempat perlu melakukan evaluasi terhadap dampak polusi udara, kerusakan jalan, dan kontaminasi air. Pemerintah daerah juga perlu melibatkan ahli lingkungan untuk menilai apakah aktivitas tersebut berbahaya bagi kesehatan warga dan lingkungan sekitar.
Apa yang Harus Dilakukan:
1. Audit Transparan dan Klarifikasi Kepemilikan Jalan: Pemerintah daerah dan pihak terkait harus segera melakukan audit untuk mengklarifikasi status hukum jalan tersebut. Pemilik jalan harus menyampaikan bukti legalitasnya dan menjelaskan mekanisme pungutan yang diterapkan kepada kendaraan yang melintas.
2. Tindak Tegas Pungutan Liar: Aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap praktik pungli yang berlangsung selama ini. Pungutan tanpa dasar hukum yang jelas merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan masyarakat dan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Pengawasan dan Penertiban Lingkungan: Pemerintah daerah perlu segera melakukan penertiban terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh jalan tersebut, termasuk debu dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas truk batu bara. Langkah-langkah mitigasi seperti perbaikan jalan dan pengelolaan lingkungan harus segera diterapkan.
4. Penegakan Hukum atas Izin Penggunaan Jalan: Jika jalan ini digunakan untuk kepentingan umum, izin yang sah harus segera diperoleh dari pemerintah setempat. Penggunaan jalan tanpa izin yang sah dapat melanggar Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tanggapan atas Pernyataan M. Baki:
M. Baki, seorang narasumber dari komunitas lokal, menyampaikan bahwa jalan tersebut memang merupakan lahan pribadi, dan bahwa pembangunan jalan dilakukan sebagai upaya ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. “Memang itu jalan pribadi, tidak ada dana pemerintah yang terlibat, dan pungutan sebesar Rp50.000 per kendaraan juga wajar, mengingat untuk membangun jalan tersebut diperlukan biaya yang tidak sedikit,” ujar Baki.
Namun, meskipun pengelolaan jalan tersebut merupakan hak pemilik lahan pribadi, pernyataan Baki masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Jika jalan tersebut digunakan untuk kepentingan umum, terutama angkutan berat seperti truk batu bara, maka harus ada izin resmi dari pemerintah dan pengawasan yang ketat. Penggunaan jalan tanpa izin yang sah, terutama untuk kendaraan yang menimbulkan dampak lingkungan, dapat melanggar aturan hukum yang berlaku.
Terkait dengan pungutan, meskipun ada klaim bahwa biaya tersebut digunakan untuk pembangunan jalan, tetap harus dipastikan bahwa pungutan tersebut tidak memberatkan masyarakat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Tanpa izin yang jelas dan pengawasan yang tepat, praktik pungutan liar ini bisa dianggap sebagai tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah pemeriksaan lebih lanjut dari pihak berwenang sangat diperlukan.
Narasumber Ahli:
Dr. Faisal Salim, Pakar Hukum Tata Negara dan Pemberantasan Korupsi:
Menurut Dr. Faisal Salim, ahli hukum tata negara dan pemberantasan korupsi, “Jika memang jalan tersebut merupakan lahan pribadi, maka yang bertanggung jawab atas pungutan tersebut adalah pemilik lahan. Namun, jika ada unsur pemanfaatan jalan untuk kepentingan umum, seperti angkutan berat, maka harus ada izin dari pemerintah yang jelas. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus segera menyelidiki siapa yang bertanggung jawab atas pungutan liar ini dan apakah ada praktik mafia infrastruktur yang terlibat.”
Ari Wibowo, Aktivis Lingkungan dan Sosial:
Sementara itu, Ari Wibowo, seorang aktivis sosial dan lingkungan hidup, menambahkan, “Dampak lingkungan dari aktivitas angkutan batu bara ini sangat besar. Pemerintah daerah harus segera turun tangan untuk melakukan pemantauan kualitas udara dan air serta mencegah kerusakan lebih lanjut. Tindakan tegas terhadap pungutan liar ini juga sangat diperlukan agar tidak ada pihak yang merugikan masyarakat dan negara.”
Tunggu Tindakan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum:
Sampai saat ini, pihak berwenang, termasuk Pemda dan aparat penegak hukum, belum memberikan klarifikasi yang jelas mengenai status jalan dan praktik pungutan liar tersebut. Kepala Desa Koto Boyo, Zainal Abidin, yang sebelumnya dikabarkan tengah sakit, belum dapat dihubungi untuk memberikan keterangan resmi mengenai hal ini.
Kasus ini menuntut perhatian serius dari semua pihak untuk mengungkap praktik yang merugikan masyarakat, melibatkan mafia infrastruktur, dan merusak lingkungan. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum kini harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
(redaksi)