BATANG HARI, 14 Desember 2024 – Jalan khusus di Desa Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi, kembali menjadi isu nasional. Dugaan pungutan liar (pungli) dengan dalih pengelolaan jalan pribadi semakin mencuat. Kasus ini menyiratkan adanya praktik korupsi berjamaah yang melibatkan “mafia infrastruktur.” Meski telah viral sejak setahun lalu, aparat penegak hukum dan pemerintah daerah terkesan lamban atau bahkan enggan bertindak tegas.
Tarif pungli sebesar Rp50.000 per kendaraan angkutan batu bara atau sawit diklaim mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp25 juta per malam. Namun, pengelolaan jalan ini penuh dengan kabut ketidakjelasan hukum. Petugas lapangan yang melakukan pungutan mengklaim jalan tersebut dimiliki oleh dua orang, salah satunya dari Jambi, dan menyatakan uang hasil pungutan langsung diserahkan kepada “bos” mereka yang tidak diketahui identitasnya.
Kronologi Dugaan Pelanggaran:
Awalnya, jalan khusus ini dibangun untuk mengurangi dampak kerusakan jalan milik pemerintah daerah (Pemda) akibat tonase berat kendaraan batu bara. Namun, penggunaannya justru menjadi celah bagi praktik pungli dan korupsi sistematis. Jalan ini juga difungsikan sebagai jalur wajib untuk kendaraan angkutan berat, sementara jalan Pemda dilarang dilalui.
Seorang warga Desa Koto Boyo menuturkan:
“Awalnya hanya kantong parkir untuk truk batu bara. Tapi sekarang jalan ini malah jadi alat untuk memeras masyarakat. Petugas hanya peduli pada pungli, sementara kami yang menanggung dampaknya, seperti debu dan air sumur tercemar,” ujar warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ketika dikonfirmasi, IN, yang mengaku sebagai utusan pemilik jalan, menyebut jalan tersebut milik PT Bangoen Djipta Djambi. Namun, ia menolak memberikan detail lebih lanjut dan melempar tanggung jawab kepada pihak lain. Sementara itu, Kepala Desa Koto Boyo, Zainal Abidin, yang diduga mengetahui permasalahan ini, tidak dapat memberikan klarifikasi lebih jauh. Dalam percakapan via WhatsApp, Zainal mengatakan:
“Maaf, saya sedang sakit sudah satu minggu. Coba tanyakan langsung kepada yang bersangkutan dulu.”
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak mana pun, termasuk Pemda maupun aparat penegak hukum.
Indikasi Pelanggaran UU:
Praktik pungli dan pengelolaan jalan yang tidak transparan ini diduga melanggar sejumlah undang-undang, di antaranya:
1. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12 huruf e: Pungutan tanpa dasar hukum sah dianggap tindak pidana korupsi.
Pasal 3: Penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan keuntungan pribadi atau kelompok dapat merugikan negara dan masyarakat.
2. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 98 ayat (1): Perusakan lingkungan secara sengaja diancam pidana maksimal 10 tahun penjara.
3. UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 277: Pengoperasian jalan tanpa izin resmi melanggar hukum.
Dampak Sosial dan Lingkungan:
Keberadaan jalan khusus ini tidak hanya menjadi ladang pungli, tetapi juga memicu berbagai masalah sosial dan lingkungan. Debu dari aktivitas angkutan batu bara mencemari udara, sementara air sumur warga berubah hitam saat hujan. Infrastruktur jalan yang tidak didesain untuk menahan beban berat juga memperparah kerusakan lingkungan sekitar.
Langkah Mendesak:
1. Audit Transparan: Pemerintah pusat harus segera menyelidiki asal-usul pembangunan jalan ini dan menelusuri aliran dana pungutan liar.
2. Penegakan Hukum Tegas: Aparat perlu membongkar keterlibatan oknum atau jaringan yang diduga terlibat dalam praktik korupsi ini.
3. Pemulihan Lingkungan: Pemerintah daerah wajib memitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas jalan khusus ini.
Kesimpulan:
Kasus ini mencerminkan praktik “mafia infrastruktur” yang memanfaatkan celah hukum untuk meraup keuntungan besar tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Publik menanti tindakan konkret dari aparat dan pemerintah untuk menghentikan praktik pungli yang sudah merusak tatanan keadilan dan supremasi hukum.
(redaksi)